Zulfa Blog's

Gallery
















Kado Ulang Tahun 07.59

Dengan kondisi obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, yang merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak mungkin kita bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi Keadilan. Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelenggarakan, adalah Supremasi Keselasaran.

Tema ini memerlukan uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang, sehingga malam ini sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli kebudayaan, sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan mohon disiapkan kerjasama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah kepakaran yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika, bahkan genekologi, sejarah ummat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta.

Semua wilayah itu saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di puncak ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan saya deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang menyangkut dirinya sendiri. Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan apapun, pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera dilakukan.

Bangsa Indonesia tidak punya kosakata untuk ‘hukum’ dan ‘adil’. Keduanya kita import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata ‘hukum’ dan ‘adil’ itu segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hokum dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.

Yang kita punya adalah kata ‘laras’. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan. Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi bareng-bareng di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita sama-sama menjaga keselasaran. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara Keselarasan Nasional. Siapa harus dihukum dan siapa harus dipertahankan, pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur dibangun dan diformasikan, bukan obyektivitas hukum atau keadilan.

Bangsa kita menomersatukan ‘norma’, menomerduakan ‘nilai’. Nilai mengikat setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang, hukum dan moral, asalkan tetap selaras dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita jaga adalah “apa kata tetangga”.

Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia — “Jangan seenaknya berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!”. Prinsipnya bukan maling itu tidak boleh, melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tak ada, tapi jangan kelihatan mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu, yang tidak boleh adalah melanggar keselarasan.

Perbenturan antara KPK dengan Polri dan Pemerintah secara keseluruhan adalah perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan. Mereka juga belum paham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak boleh merusak pekerjaan para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan, maka ia akan diberi label anarkisme atau makar.

Indonesia Mengejutkan Dunia

Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang kiai yang bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?

Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 Nopember 15 tahun silam. Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir. Tetapi semua itu pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas proffesional atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini. Saya merasa bahwa yang menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan malam ini adalah ’sekedar’ nilai persaudaraan dan kemanusiaan.

Alhasil, sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini, sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi, meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya. Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya diterima, beliau langsung menyeret saya, didudukkan di kursi, kemudian beliau omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu. “Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya”, kata beliau.

Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon sekedarnya: “Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?”

Beliau menjawab, “Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama optimisme atau pesimisme….”

“Aduh saya kurang paham, Kiai”, saya menyela.

“Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu bukan dosa. Yang penting kau sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulangtahunnya hari ini adalah ulang tahun yang sangat indah. Gatra berulangtahun tatkala kita semua sedang berada pada momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan segera datangnya saat di mana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia”.

“Wah, optimis ya Kiai?”, saya menyela lagi.

“Kamu cengeng”, jawab Pak Kiai, “Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli”.

“Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang bangkitnya Indonesia….”

“Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah”, Kiai Alhamdulillah melanjutkan, “Perhatikan dahsyatnya kepemimpinan Negaramu sekarang ini, amati mozaik penuh cahaya kebudayaannya, kejujuran dan kelihaian manusia dan bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin pendidikan informasi Persnya, progressivitas persekolahan dan kependidikannya, cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang terutama tak terbendungnya fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui garda-garda post-modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan sejarah dari Nusantara itu akan tak bisa dielakkan oleh semua masyarakat dunia bahwa Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia….”

“Maaf ya Pak Kiai, tadi kata Sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan, karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?”

“Jangan kawatir, Nak”, jawab beliau, “Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari, Qiyamat itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin oleh Indonesia”.

“Jadi benar akan kiamat ya Kiai? Apakah itu yang dimaksud dengan tahun 2012?”

“Jangan mendahului Tuhan, nanti malah dibatalkan”.

“Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?”

Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi

Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:

“Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral kepada Gatra”, kata beliau, “Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum, keadilan atau keselasaran. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan, segala sesuatu bisa diubah dan diatur”.

“Sebentar lagi bayi Indonesia baru akan segera lahir. Ibu Pertiwi yang akan melahirkan bayi itu sekarang sudah mengalami “bukaan-2“. Kalau bukaan sudah sampai ke-10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total-refreshing dari anak bungsu Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang sama sekali baru”.

“Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu Air Ketuban pecah pada 28 Oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 — karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yg sekarang menguasai keuangan dunia adalah keturunan Kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa puluh atau ratus generasi sebelum itu”.

“Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya Kan’an, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan jejak di Somalia, Jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan Ajisaka, Keling, Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara, Salakanagara atau Giling Wesi Jakarta. Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram”.

“Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam melakukan penelitian san eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia, terutama daratan panjang luas dari yang sekarang dikenal sebagai jazirah Saudi hingga Iran Jaya, yang memaparkan berbagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk ilmiah yang sejauh ini ada”.

“Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke Peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir. Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara low-tech replikasi jasad, high-tech replikasi system-logic otak, automation assembly line, prinsip digital, 0 dan 1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan Fuzzy Logic, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggih-canggihnya namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah, penasaran, sedih atau gembira – semua itu coba ditemukan konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan struktur misbah dan zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, hingga ke regulasi Negara mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah“.

“Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21 yang ditemani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam, ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan Qul huwallohu Ahad, 99 asma Allah, ditambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar, interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali dasar-dasar Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan Ideologi Pangan dan Kesejahteraan”.

Negeri Demokrasi Sufi

Tidak sengaja spontan saya merespon: “Itu makar, Kiai!”

Pak Kiai tertawa. “Alhamdulillah tidak perlu ada makar. Di negerimu rakyat tidak merasa terancam, sepanjang mereka masih punya sandang pangan, yang mereka bisa mengusahakannya sendiri, dengan atau tanpa Pemerintah. Pemerintah tidak perlu melakukan apapun, sebenarnya rakyat tidak masalah. Bahkan banyak rakyat yang mempersilahkan uang pajak nasional itu dibagi-bagi saja oleh para Pejabat, asalkan jangan mempremani atau memalak rakyat yang sedang bekerja mencari nafkah. Jadi, sekali lagi, tidak ada makar. Memang ada kehancuran nilai, moral, mental, intelektual dan spiritual, tidak itu tidak dianggap kehancuran. Kehancuran yang dikenal oleh bangsamu hanyalah kehancuran fisik”.

“Maka alhamdulillah bayi itu akan lahir. Kita semua berdoa, jika ada yang berusaha membuntu lubang rahim Ibu Pertiwi, karena berharap sang Bayi akan batal lahir, semoga jangan lantas ada keputusan Operasi Cesar oleh petugas-petugas Jagad Raya, para Eksekutor Alam Semesta, oleh Kepala-Kepala Dinas Samudera dan Tsunami, Hujan, Banjir dan Longsor, Gunung, Lempengan Bumi di perut bumi Nusantara dan Gempa, Pemanasan Global, Gas Metan di Kutub Utara, ararkisme meteor-meteor, serta ruh-ruh Energi dan Frekwensi yang serabutan maqamat-nya, serta sejumlah birokrat langit bumi lainnya”.

“Akan tetapi bencana-bencana itu bisa tak perlu terjadi, karena semua yang terjadi ini tetap dalam lingkup Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai rohaniah. Bencana-bencana itu bisa batal, meskipun korupsi makin merajalela. Karena dalam Pancasila terbuka peluang sangat luas untuk menafsirkan nilai-nilai. Misalnya, sesungguhnya itu semua bukan korupsi, bukan sistem yang korup, bukan pencurian yang merata – melainkan Shadaqah. Shadaqah adalah beralihnya uang, dana atau jasa secara sukarela dari satu tangan ke tangan lain. Ciptakan suatu atmosfir kenegaraan dengan wacana-wacana yang membuat semua peralihan keuangan itu bersifat sukarela dan bermakna shodaqah. Sosialisasikan nilai bahwa ridla bir-ridla atau saling sukarela adalah pencapaian silaturahmi yang ideal. Kalau ada yang belum ridha dan merasa itu adalah pemerasan, harus dididik sampai bisa mencapai ridha. Kewajiban mendidik warganegara menuju tingkat ridha itulah tugas Pemimpin, Pemerintah, Para Wakil Rakyat, Kaum Ulama segala Agama, Pers dan semua pelaku-pelaku utama yang lain dalam sejarah. Pasanglah spanduk di jalan-jalan yang mendidik publik: ‘Relakanlah ke manapun uang Negara pergi, toh yang memakai adalah sesama manusia, sesama makhluk Allah’.

“Pancasila bisa menggali nilai-nilai Agama, misalnya Sufisme. Kalau perlu dilegalisir saja pedoman nasional bahwa Negeri kita adalah Negeri Demokrasi Sufi yang berlandaskan pancasila. Di dalam Negeri Demokrasi Sufi, Presidennya harus Sufi, seluruh Menteri dan Pejabat-pejabatnya harus Sufi. Demikian juga Tentaranya, Polisinya, termasuk para Pengusahanya, olahraganya, keseniannya, harus Sufi. Presiden Sufi adalah Presiden yang sesungguhnya tidak bersedia menjadi Presiden lagi, tetapi demi Indonesia bersatu maka ‘Lanjutkan!’.

“Kabinet Sufi adalah Menteri-Menteri yang rela lilo legowo tidak ditempatkan atau ditempatkan di penugasan Kementerian manapun, meskipun seandainya mereka tidak memiliki kompetensi proffesional. Kalau mereka menolak, akan bisa terjadi pertengkaran antar kelompok politik. Presiden dan Menteri-Menteri Sufi harus menomersatukan kedamaian, dan menghindarkan segala kemungkinan konflik.”

“Sufisme itu intinya adalah kesanggupan berpuasa. Berpuasa makna luasnya adalah sanggup melakukan sesuatu yang ia tidak suka, atau mampu tidak melakukan yang ia suka. Umpamanya saya tidak suka memeras orang, tetapi demi mengasah kemampuan rohaniah, maka saya memeras”.

“Menutupi aib sesama manusia, adalah termasuk nilai Sufi yang tinggi. Apalagi yang punya aib itu orang di jajaran tugas kita sendiri. Tuhan melarang hamba-Nya memperhinakan sesamanya. Bahkan dalam berolahraga, sebisa mungkin kita menjaga hati sesama manusia. Kalau kita menang dalam pertandingan sepakbola atau bulutangkis, harus kita perhitungkan bahwa lawan main kita pasti kesakitan hatinya kalau kita kalahkan. Maka yang terbaik adalah kita mengalah. Kalau ada striker lawan menggiring bola capek-capek ke gawang kita, Kiper kita harus minggir dan mempersilahkan bola dimasukkan. Dengan demikian olahraga kita memiliki kwalitas nilai kemanusiaan yang sangat tinggi”.

“Atau ambil contoh lain misalnya Pengusaha, khusus di Indonesia, para Pengusaha memiliki peluang sangat besar untuk berjuang mencapai tingkat Sufi yang tertinggi. Para Pengusaha di Indonesia setiap saat harus siap bersedekah, setiap langkahnya harus bersedekah kepada Negara yang diberikan melalui para Pengurus Negara. Pengusaha yang tidak bersedekah, alhamdulillah pasti menjadi Sufi bangkrut.”

“Sebab sedekah itu kemuliaan, bukan keanehan. Kamu tahu artinya sedekah? Infaq yang tidak wajib itu namanya shadaqah, kalau wajib itu namanya zakat. Pengusaha Indonesia tidak wajib bershadaqah, tapi mereka perlu meningkatkan kwalitas rohaniahnya, sehingga yang sebenarnya tidak wajib bisa ditingkatkan menjadi wajib. Ada yang bertanya: apakah itu bukan pemerasan? Itu pemerasan hanya bagi Pengusaha yang tidak berhati ikhlas. Jadi ini bukan soal hukum, melainkan soal keikhlasan hati. Kemudian ada lagi yang bertanya: apakah itu bukan sogokan? Alhamdulillah sama sekali bukan sogokan, sebab Pejabat yang menerima sedekah itu niatnya bukan mencari uang, melainkan menguji iman si Pengusaha”.

Kaliber Dunia

“Saya akhiri kado ini”, kata Kiai Alhamdulillah akhirnya, “karena saya ingin Gatra tetap langgeng penerbitannya”.

“Sampaikan respek saya kepada Gatra. Pers Indonesia, dan pasti juga Gatra, adalah salah satu sumber energi sosial dan pendidikan sejarah yang turut memberi sumbangan besar kepada Kebangkitan Indonesia 2012. Koran-koran dan Majalah melakukan pencerdasan bangsa 3-5 kali lipat dibanding era-era sebelumnya. Televisi-televisi bekerja keras 24 jam sehari untuk membuat bangsanya menjadi sangat dewasa, matang dan berwawasan luas”.

“Pers bisa ambil peranan besar dan hampir mutlak dalam hal Yaumul Qiyamat ini. Apalagi Pers Indonesia adalah pers terbebas di seluruh dunia. Paling merdeka dan independen. Pers Indonesia tidak punya atasan, semua yang lain adalah bawahannya: baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan disinformasi, tuhan dan hantu, semuanya patuh kepada kebijakan dan strategi redaksionalnya. Pers Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk menghukum dirinya sendiri”.

“Jangan lupa, mantapkan hati Gatra, bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi paling fenomenal dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya Gatra berbangga memiliki Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh dunia. Gatra adalah bagian dari bangsa tertangguh dan paling proffesional me-maintain kehidupannya masing-masing dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia. Manusia Gatra adalah manusia Indonesia, manusia paling tahan uji, paling banyak tersenyum dan tertawa, bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia. Gatra adalah pelaku kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling ragam dan tak terbatas kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan kepribadian. Para pekerja Gatra adalah juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan beragama di Indonesia,yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu sedemikian rupa membuat para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak lagi memerlukan pemikiran, penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun”.

“Dan akhirnya, jangan pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia memiliki pemimpin seorang Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber dunia. Gatra jangan ikuti orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit pandangannya, yang selalu mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang peragu, lamban, tidak punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak obyektif, atau macam-macam lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan hanya bersifat impressional. Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut perasaannya dan tidak hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya menyaksikan satu saja warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan membela mati-matian siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang sudah membuktikan kerja keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah Panglima Keselarasan”.

Jeritan Batin 10.11

Sebaik-baik manusia, tidak akan selamanya mereka akan selalu mendengarkan jeritan batin anda. Mengetahui adalah 1 sisi mata uang, sedangkan memahami adalah sisi mata uang yang lain. Tidak selamanya mengenal berarti memahami. Mari kita ingat-ingat adegan interogasi di film action. Meskipun seorang polisi/jaksa sering mengklaim bahwa ia memahami isi hati seorang penjahat, tapi itu tentu hanya sebatas klaim. Karena memang tidak mungkin seorang polisi memahami isi hati terdalam penjahat, sebagaimana dalamnya pengetahuan penjahat tentang isi hatinya. Karena itu bersiaplah kecewa, jika anda berharap simpati pada manusia, berharap manusia memahami kita. Tiada orang yang akan memahami kita seutuhnya. Bersiaplah untuk gigit jari, jika anda menyampaikan isi hati anda pada penduduk bumi. Bahkan jika perlu, rahasiakanlah harapan-harapan anda hanya kepada-Nya, kepada Pemilik langit dan bumi yang menciptakan galaksi dan jagad raya dengan keseimbangan, kepada Maha Pencipta yang menciptakan anda.

Sebaik-baik makhluk bumi, akan jenuh juga bila kita selalu meminta bantuan, bila kita mengadukan kegundahan hati kita. Karena sebagai manusia kita memiliki kapasitas yang terbatas. Kita bukanlah mata air yang selalu segar airnya, tapi mungkin hanya segelas air yang akan cepat jenuh (saturated) dengan beberapa butir garam. Semakin anda memperlihatkan keluh kesah, semakin rendahlah anda dihadapan manusia bumi. Dengan manusia, terbatas apa yang dapat kita minta, terbatas apa yang dapat kita adukan. Hanya kepada Allah kita dapat mengadukan semua lirih doa dan harapan, tanpa batasan, terus menerus. Berbeda dengan permintaan pada manusia yang akan berujung pada penolakan, semakin sering kita memohon kepada-Nya, justru semakin baik posisi kita di hadapan Sang Pencipta.

Kepada Rabb yang menciptakan kita, kita dapat mengadu sepuasnya. Iya, dengan pengaduan yang kecil tentang tali sendal yang putus, hingga harapan akan masa depan yang lebih cerah, harapan akan masa depan yang lebih baik, harapan untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan 'disana', sebelum maut datang dan sebelum kita akan benar-benar sendiri. Dalam sebenar-benar sunyi.


Allah Azza wa Jalla pula lah tempat bermuara semua doa. Karena itu batasilah daftar pengaduan anda pada manusia, jika tidak ingin kecewa.

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat lari dari intrik politik, yang berbicara dengan untaian kata dan bermain dengan diksi dan makna. Berselancar dengan seribu argumen dan berlindung dengan berjuta pembenaran. Karenanya bersiaplah untuk menghadapi makhluk-makhluk-Nya yang tentunya seperti saya, seperti anda, tidak sempurna dan suka bermain kata. Meski domain berbeda, politik adalah keseharian manusia. Maka bersiaplah untuk kecewa.

Ketidakpastian hidup. Adalah alasan lain untuk bersegera menyonsong panggilan-Nya. Karena hanya Tuhan-mu yang mengetahui apa yang terjadi besok, apa yang akan terjadi 1 detik ke depan. Mari jadikan ke-tidak-aman-an posisi anda di bumi dengan mendekat kepada penguasa bumi dan penguasa langit.

Maka cukupkanlah menjerit kepada-Nya. Maha Suci Allah Yang Menguasai setiap makhluk-Nya. Dia lah Yang Memegang ubun-ubun makhluknya (Maha Menguasai). Tidak akan berpengaruh rekayasa siapa pun pada diri kita, melainkan hanya kehendak Allah Yang Menciptakan kita lah yang akan berlaku.

Maka cukupkanlah dengan permohonan yang terus menerus kepada Ia. Maha Besar Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Pemberi Rizki, yang memberikan rizki kepada hamba-hamba-Nya dengan kenikmatan yang tiada batas. Rabb Yang menjamin rizki setiap makhluknya. Sebagaimana burung-burung yang berangkat terbang di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.

Percayalah, semua permainan dan keluh kesah di bumi ini adalah sementara. Pergantian siang dan malam, pergiliran sehat dan sakit, perubahan sukses dan gagal adalah jalan untuk mengenal-Nya. Sampai suatu saat nanti, kita akan mengerti bagaimana agar tidak pernah kecewa. Dengan membawa berjuta harap, hanya kepada Rabb yang menciptakan kita.

Aku disini Kau di sana 13.04


Tanganmu dingin meremas jemari ini. Sedingin salju yang menutupi pohon plum yang berbunga di awal Januari. Sedingin hawa kematian yang berhembus leluasa di kamar jenazah. Sedingin, ah sedingin jiwa kita. Tanpa perlu kata-kata, kita berdua tahu untuk apa kita bersua. Disini, dipinggir pantai dengan hamparan pasir putih engkau menggenggam ruas-ruas jariku kuat, seolah menyatakan keenganan untuk berpisah. Tak ada aksara. Apalagi belai manja. Hanya debur ombak bermain dengan camar saja. Ironis, di depan elok semburat jingga mentari, kita diam dalam pikiran dan luka yang menyayat rasa.

“Ia mulai curiga. Sering ia mengecek ponselku diam-diam,” kataku memecah sepi. Kamu bergeming, hanya merapatkan pelukmu di pinggulku. Tak ayal kusenderkan kepalaku di pundak, mencari kehangatan. Ah bukan, tepatnya berusaha mencari perlindungan dari rasa gentar juga gelisah yang makin meraja.

“Mungkinkah ini waktu bagi kita tuk berpisah?” tanyamu tanpa berani menatapku. Dan aku diam tergugu, sebuah pertanyaan pahit dengan kadar kebenaran. Ada pedih didalam hatiku. Ada hati yang teriris-iris mendengar kata-katanya. Perih. Aku menutup telingaku, tak mau mendengarnya bicara lagi. Oh, duhai Lelaki.. Tolong... Tolonglah aku. Kumohon berhentilah bicara.

“Ku harap hidupmu bahagia dengan atau tanpaku,” bisikmu lirih ditelinga seraya menyibakkan ikal anak rambutku. Kata-katamu bagai pisau tajam yang merobek jantung. Ingin rasanya kutampar saja bibirmu namun kulihat dadamu turun naik. Susah payah berusaha menghirup oksigen banyak-banyak untuk mengisi rongga paru, tanda kau pun mulai tak mampu mengontrol rasa yang mengharu biru. Situasi yang sungguh aku benci; terluka oleh Lelakiku yang dengan topengnya berusaha kuat padahal sisi dalam hatinya mungkin sudah hancur berkeping-keping juga.

Lirih katamu tadi kusambut dengan titik air menggantung di sudut mata. Bagaimana mungkin aku tidak menangis? Siapakah yang mampu berpisah denganmu wahai Lelaki. Engkau yang menghias malam-malamku dengan lelucon jenaka, yang menyapaku di pagi hari dengan pesan-pesan puitis nan romantis, yang menemani hari-hariku dengan segala rengekan manja juga polah merajuk yang gila. Lelaki lain mungkin sudah menyerah menghadapiku, namun kamu tidak. Kamu terus ada, sabar juga setia. Setia jadi tempatku berkeluh kesah, setia meyakinkanku bahwa rasa itu nyata dan terus bertumbuh. Dan sekarang? Setelah kita berdua sedemikian yakin akan rasa ini, realita menampar rasa. Menghempaskan mimpi kembali ke bumi.

Semenjak hari itu, semenjak sore kelabu itu, kulalui setiap detik waktu dengan sengsara menahan rindu, teringat belai kasihmu. Dengan tatapan kosong memandang kotak ajaib di ruang tamu padahal pikiran ini melayang jauh pada memori kencan-kencan rahasia kita. Dengan isak yang tertahan diujung kamar (hati-hati jangan sampai suami mendengar) terbayang kecup mesra bibirmu melumat bibirku. Dengan kuah sayur yang berlebih takaran asinnya karena terngiang semua kata-kata gombalmu. Rayuan sampah yang sesungguhnya mampu menggetarkan sukmaku. Dan hari-hariku pun kelabu. Tak ada warna disitu, karena tak ada kamu. Aku ini bagai mayat hidup yang berusaha menjalani hari. Yang tersisa hanya raga padahal jiwa dan roh sudah melayang meminta bersamamu jika bisa.

Senja Merah

“Bagaimanakah aku bisa bahagia jika tak ada kau dalam hidupku?” suaraku tercekat menahan tangis di gagang telepon. Setelah sekian hari, mungkin tujuh, tak mampu lagi logika mengatur hati. Hati yang memerintah logika, jadi kutelepon dia. Namun senyap yang menyambut kata-kataku. Tak ada jawaban, hanya helaan nafas saja yang terdengar. Beberapa saat kemudian ada jawab dari seberang sana,“Temui aku ditempat biasa.”

Dan begitu melihatmu di ujung senja pantai kesayangan kita, aku menghambur dalam peluk kekar tanganmu. Tangisku pecah. Ah, sedemikian aku rindu pada Lelakiku, pada suara bariton khasmu yang selalu mampu menenangkanku, pada wangi jantan yang membuatku merasa aman. Dan kamu pun mengangkatku hingga sejajar dagu, lalu bibir ini bersatu. Berpagutan liar seolah lama tak bersua padahal hitungannya tak lepas seminggu saja. Meluapkan emosi tertahan yang menyiksa. Liar, panas, ganas. Senja elok itu ditutup dengan dengan gumulan tubuh yang berpeluh. Berdua nafas kita tersengal riuh.

Bukan kali pertama kita berusaha berpisah, karena kata orang cinta kita ini cinta terlarang. Entah siapa yang membuat aturan bahwa ini cinta terlarang, cinta halal atau haram. Aku benci aturan itu! Aturan konyol yang memaksa memadamkan cerita kasih ini. Namun entah mengapa, setiap kali mengambil keputusan untuk menyudahi roman cinta, setiap kali pula gagal. Paling lama tak bersua dari Ahad ketemu Ahad saja, namun rindu yang menggedor jiwa lebih keras dari keputusan untuk berpisah. Ah, sepertinya cinta sialan yang terlarang ini begitu kuat, mencengkeram erat bagai maut mengintai daging sekerat. Persetan dengan terlarang, ke laut saja itu norma. Kau adalah dosa terindah yang pernah kubuat dan jika ku harus dirajam karenanya... Biar, biarlah itu adanya. Kau. Aku. Kita. Teronggok mesra di ujung senja merah itu, bergemuruh, berusaha mencurangi takdir dan waktu. Entah sampai kapan mampu begitu......

Aku termenung di bibir jendela, 13.37

Aku termenung di bibir jendela,
merenung sekawanan burung berterbangan,

malas langkah kakiku menuju ke meja tulisku,
menongkat dagu dan menulis satu per satu...

"Aku sendirian, tanpa teman, tiada bulan, tiada bintang... SUNYI"

aku bangkit semula, terasa tekak kering tidak bermaya,
ruang dapurku hanya bersebelahan dengan kamar beraduku,

ku gagahi langkah kakiku,
menapak selangkah demi selangkan...

peti ais yang setia menunggu,
seolah-olah tersenyum padaku,
menanti untuk aku mencapai telinganya,
membuka pintu hatinya.

aku capai sebotol air mineral,
ku teguk dengan rakusnya...
arghhh... lega.

kakiku kembali mengorak langkah ke kamartidurku,
lalu mendapatkan meja tulisku yang banyak mendengar keluh kesahku

dan aku kembali menulis...

"30 minit aku di sini...
tanpa suara...
dan aku terus menunggu kata sayang darimu..."

warghhhh!!!
kantukku menyerang...
ranjangku memanggil...
"datang ke sini... datanglah kemari"
bisikkan manjanya jelas dirongga telingaku...
"sebentar ya"
aku lantas bangun dari kerusi yang mulai cemburu kepada ranjangku...
sabar ya, besok kita ketemu kembali...
aku memujuknya...

ranjangku senyumnya lebar....
aku terlelap dalam pelukannya...

Time Management for the Life of Joy 15.27

EVERY family has a time every hour 60 minutes, 24 hours a day and 7 days a week. We can get a successful family is able to realize its objectives in the time available. But we can also see other families who precisely as if being chased by time, can not live quietly, unable to realize its goals, and can not enjoy life. Inevitably, the family could not solemn worship.

The difference between the two families is truly the first family fully understand the urgency of time; know how memenejnya, whereas the second family became the first family antitheses. Prophet said, "There are two blessings which many people neglected; health and free time."

Who uses health and spare time in obedience to Allah and His Messenger, then he is a happy man. However, those who use them to engage in immoral acts to Allah and His Messenger, then he is a miserable person. This remember, is the opposite of ill health, and leisure time opponent of the busy


Who uses health and spare time in obedience to Allah and His Messenger, then he is a happy man ...


Westerners say that time is money, while Al-Hasan said, "I found some people that one of them is very stingy against the old than the coin." He knows that if the age disappeared, then he will disappear. While the treasure, if one day disappear, then at other times can be obtained again.

From here we can see that time does not equal value for money, he is more valuable from it. As stated Abdullah bin Mas'ud, "I never regret for something more than regret for the day when the sun sets, the more my end is reduced, while amalku not increased."

Thus, time management is a skill. So - as a mother and wife you have to train and educate children to be able to manage their time. The reason is, if we are a family with typical family of two in the example above, then we constantly try to change the time that has gone, do good in the wrong way, eating, drinking, driving, and others with a hasty and reckless. No doubt, worship was not optimal, resulting in negative impact on family life.

Who uses health and spare time to engage in immoral acts to Allah and His Messenger, then he is a miserable person ...


Then arises the question: how can memenej time effectively? What is the meaning of time management? From the literature that there are states that time management is the ways and means of helping people to realize its goals, achieve stability between obligations, desires, and goals. Time management experts agree that every time we successfully manage time well, then we will be more productive.

Definition of time management is not just reserved for adults only. Small children can use it and trained to get accustomed to effective time management. To train the children are familiar with time management, so parents should monitor its effectiveness in the activity.

How Long Time Do You Need?

How long do you need to do various daily activities? It's a question you must answer before starting to realize time management. All you have to do is write all your daily activities during the week with a record time you need in doing various activities. It is better if prepared in the form of charts:

  1. Look at the chart that is in front of you, look for activities that are a lot of time to swallow, but the benefit is simple. It is like sitting for hours in front of the television, talking on the phone for a long time, tidying children's toys scattered about, and so forth.
  2. Give priority to jobs that are categorized as primary needs, such as prayer, worship, health care, repairing dangerous things, pay bills, and perform other tasks.
  3. Then in the next rankings are matters relating to the future of the family, such as the time that you live with your family, your time to guide children's learning, and time to develop your capabilities.
  4. In the next rankings are activities that may be delayed when there are plenty of time, such jobs that required another person to us, when they could do it, but they are lazy.

... Give priority to jobs that are categorized as primary, such as prayer, worship, health care, repairing dangerous things, pay bills, and perform the duties ...

Means of time management at home:

  1. Make a daily chart that simple. When you have an obligation to your family, do not you asking the question, "What the hell do they want from me?" Make the questions in it contains two options. Then make a specific schedule as much as possible to everything. Persingkatlah time that you normally use for things that are not useful; good for the world and the hereafter.
  2. Do important jobs on the spot, do not delay-nundanya. It is like a tidy bedroom, tidy toys and books the children. Because, once you put off the things above, then you will need a lot of time later.
  3. Komitmenlah with your schedule as much as possible. However, do not force yourself to the extreme, if you can not do your jobs because of things beyond your wishes. However, study the various factors that make you not able to do it.
  4. Take the time to entertainment and make permanent plans for a weekly holiday.
  5. Make a weekly list for the obligations of everyday life, families need a grocery list, while continuing to monitor their prayers, awaken them, and give an understanding to them regarding the result of sleeping late at night.
  6. Write a schedule of things you should do during the week and do not forget to spend some private time to you.
  7. If possible, do two jobs at a time, such as clearing the table when talking on the phone, or listen to the recording is important when tidying the house.
  8. Take time for family vacations. Then do not forget to specify hours of sleep a night.
  9. Shorten the time that you normally use to talk about things that are less important, such as daily discussions with children about the clothes they should wear, the food they would eat, or who must carry out certain domestic tasks. All of this can be stopped by making a simple schedule for the days more organized.

... Komitmenlah with your schedule as much as possible. However, do not force yourself to the extreme ...


Kids and Time Management

Like most other abilities and skills, time management is one important skill to possess the children. When children can read at, then he had a responsibility to time in its path. Thus, we can train them in a way:

... Teach them that every time the age of children increases, then its responsibility with respect to time even higher, especially those associated with the worship ...


  1. Hanging his monthly routine schedule in their room and instruct them to write off the day they had passed.
  2. Instruct children to get ready to start the day with the shortest possible time.
  3. Teach them about time management that can make their lives regularly. You have to teach them how important time management, so they will know that time passes quickly while job-work to do so much.
  4. Make a schedule of lessons, good for doing homework (homework) or to learn when exams. Because it isis the important way to organize time in the lives of children .

HARI YANG ANEH 09.24

Kabut pagi ini masih tebal, membawa dinginnya dibuta ini, embun diatas ilalang tak jua mengering, dan burung seriti itu beterbangan tak tentu arah.
Pagi yang cerah, angin berhembus lembut mendamaikan hati, terlintas di fikiranku sepotong wajah yang selalu mengusik hati, wajah yang selalu membuatku merasa kanngen berat. Wajah itu lembut, putih langsat, dan Nampak selalu senyum merendahkan hati. Dian! Itulah nama empunya wajah cantik itu.
Dian. namanya begitu sederhana, tapi gadis ini tak kalah indah, dia begitu sederhana, baik, dan tidak pernah sombong terhadap siapapun!
Disaat aku merasa sepi karena tak ada seorang pun yang mampu membuatku nyaman, membuatku merasa terlindungi, dan membuat hari-hariku terasa bermanfaat. Disaat hati bertanya-tanya pada Sang pencipta tentang kehidupanku yang sendiri. Kapan seorang bidadari dengan segala kelembutannya itu dating padaku? Sesungguhnya hal itu tak perlu ditanyakan lagi pada Sang khalik, karena aku yakin Dia sudah mengatur segala sesuatu yang berjalan di bumi ini. Aku sebagai mahluk ciptaan-Nya yang lemah hanya bias wait and see.
Disaat itu datanglah sosok yang ku impikan, seorang ghadis dengan sepasang sayap putih lebar tertempel di punggungnya, dengan tongkat yang ia bawa, ia kelihatan lebih indah. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya cahaya putih yang ada saat itu. Siapa dia? Benarkah Tuhan mendengar seruanku? Dan kini Dia mengirim bidadari-Nya untuk menemanmiku?
“Bangun! Cepet mandi! “
“Iya bu, sebentar! Masih ngantuk ni..!” jawabku malas. Ibu tak menyerah, diseretnya selimut yang aku gunakan untuk tidur sehiongga aku merasa kedinginan, dan ibu mengoyok-oyok tubuhku hingga aku bosan dengan gangguan tidur semacam ini. Seprti biasa, ibu lagi-lagi membuat tidurku tidak nyaman. Lalu dengan malas aku ke kamar manid dengan mata yang masih merem-melek!
Sejam kemudian aku, ibu, bapak, adik dan masku berkumpulk di meja makan. Acaranya sekarang adalah sarapan pagi.aku suka dengan acara seperti ini, karena kamiu jarangt banget kumpul keluarga seperti yang aku lakukan pagi ini. Bapak sibuk dengan sawahnya, ibu sibuk dengan sapinya, adik sibuk dengan temen-temen mainnya, dan kakakku masih sibuk dengan ujiannya. Hari ini hari minggu, kami semua makan dengan khidmad, berbincang-bincang dengan banyak hal.
“Bagaiman dengan ujianmu, le?” Tanya bapakku pada masku. “ Insya Allah udah siap kok pak!” jawab masku yakin. “yang penting kamu tetep belajar terus ya, le!” kini suara ibu terdengar lebih meyakinkan. “bapak ma ibu selalu mendo’akanmu kok, le! Asal kamu sekolahnya yang bener.” Tambahnya. “ enggih bu!” jawab kakakku sambil manganggukkan kepalanya.
“Kalau kamu gimana sekolahnya? Gak ada masalah kan , le?” giliran bapak menanyaiku. “ baik-baik juga kok pak, malah sekarang aku senang dengan pelajarannya.
“Lho, emang kemaren-kemaren gak suka ya?” Tanya adikku yang masih kecil. Dia baru kelas 4 SD di MI MAARIF, sekolahanya tidak jauh dari tempat kami bernaung, sekitar satu kilometer dari rumah, untuk sampai ke sekolah adikku jalan kaki bersama teman-teman yang lainnya.
“E…h bukannya gitu, dik!” jelasku
“Lha terus apa dong kak?” bapak, ibu sama kakak hanya tertawa kecil melihat kami berdua berdebat. Tak seharusnya kejadian ityu tewrjadi saat sarapan begini. Ah adikku…
“ Nanti setelah makan, bantu ibu cari rumput ya, le!” pinta ibu pada kami berdua, aku dan kakakku, adikku hanya akan mengotori halaman rumah bersama teman temannya.
“O…enggih bu!” jawabku sambil menganggukkan kepala. Lalu ibuku keluar dengan membawa senjata yang basa kami gunakan untuk merumput. Arit! Ityulah nama benda yang kami gunakan. Alatnya hamper sam dengan pisau belati, hanya kalu arit lebih besar dan menyerupai clurit! Bias dibilang sbitlah!
“ Ibu tak ngasah arit dulu ya, biar landhep” kata ibu sebelum beliau pergi.acara makan selesai dan acar ‘bekerja’ dimulai. Ayah mengambil seragam sawahnya yang dekil, dan sepatuinya yang besar tinggi itu beliau kenakan untuk melindungi kakinya. Dan ibu siap dengan sabitnya, bersamaan dengan siapnya kami berdua, aku dan kakakku pergi cari makan buat si-emoh.
“Jangan lupa bawa ‘mujah’nya. Nanti biar gak sakit!” pinta ibu kepadaku. “ siap bu!perlengkapan sudah siap!” jawabku dengan suara senang. “ bagus, le! Nanti bawanya sedikit-sedikit aja, jangan kayak dulu, kalo ‘kabotan’ lagi yang payah ibu!oke?” kata-kata ibu terus kami dengar, sebelem ibu pergi mengambil sabit ia tersenyum dan dengan wajah tuianya itu bibir ibu komat-kamit entah apa yang beliau ucapkan.
“Aku dan mas pergi duluan aja ya, bu! Ntar ibu nyusul kesana” pintaku kepada ibu yang masih siap-siap. “ ya udah sana duluan gak apa-apa, nanti ibu menyusul.” Jawabnya ringan dengan muka jernih meski termakan usia.
Aku dan masku mulai berjalan menuju tempat yang banyak rumputnya. Dan kami senang dengan pekerjaan ini. Mmbutuhkan waktu dua jam untuk menyelesaikan tugas ini. Dan butuh waktu tiga puluh menit untuk kembali pulang. Jadi rata-rata kami merumput selam dua setengah jam. Siang ini panas sekali, musim hujan mungkin dimulai minggu depan, aku merasa lapar dan haus, aku duduk dibawah pohon gnetum gnemon yang ada di ujung ‘galengan’ ini. Kurasakan udara berubah menjadi sejuk, panas matahari sudah tak terasa menghujami diriku yang kecil, rasa laparpun seperti agak berkurang setelah aku menduduki bawah pohon gnetum gnemon ini.
Ku lihat ibuku berjalan mendekatiku, dengan senyumnya yang khas ibu mengulurkan tangannya yang lembut, lalu membawaku melayang menjauhi bumi, ke tempat yang belum pernah aku jamahi, tak ada batasan, terang, dan sulit untuk keluar kembali ke bumi. Tak ada tanda apapun disana, hanya terlihat sekelomp[ok makhluk kecil dengan topi seragam, kira-kira mereka berjumalah sepuluh. Badannya pendek, kakinya tegap, dan sesuatu yang membuatku geli yaitu sepatunya yang besar dan sama sekali tidak cocok dengan ukuran badannya. Aku rasa mereka juga merasakan hal yang kurasakan mengenai sepatu besar itu. Mereka pasti merasa keberatan memakai sepatu yang diberikan ibu mereka, tapi wajah yang mereka tunjukkan berbeda, mereka malah memamerkan kekompakkan mereka dengan gaya berjalannya yang terkesan seperti tentara jadul alias jaman dulu.
“Ada yang aneh dengan kami?” salah satu dari mereka bertanya dengan gaya bicara aneh. Aku menggeleng, “lalu kenapa kamu memandang kami dengasn tatapan seperti itu?”. Aku pun hanya bias menggeleng, wajahnya yang berubah menjadi marah itu membuatku kehilangan percaya diri. Seolah ia tak mengijinkankan aku untuk menjawab pertyanyaannya.
“Sudah berapa lam kamu disini?” mereka sekali lagi bertanya, dan sekali lagi pula aku menggeleng, mereka semakin penasaran dengan sikapku pada mereka, lalu salah satu dari mereka bertanya dengan sopannya. “ dengan siapakah anda kemari?”. “dengan ibu!” kuberanikan untuk menjawab. “dimana sekaang ibumu, nak?” tanyanya lagi. “ aku tak tahu kemana ibu pergi. Seingatku aku diajak ke tempat aneh seperti ini dan ibu menghilang begitu saja.” Kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Tapi aku semakin bingung.
“Anda tahu apa nama tempat ini?.” Kutanyakan hal itu karena aku benar-benar bingung diman tempat yang sebenarnya sedang ku injak ini? Masihkah di bumi? Atau di luar angkasa? Aku tak ambil pusing, aku hanya menunggu jawaban dari mereka yang kukira juga lebih mengerti tentang tempat aneh ini.
“Benarkah kamu tidak tahu dimana kita sekarang ini?” mereka balik nanya kepadaku, lalu aku menggeleng dan si tua pendek itu mendekat, “ Kasihan sekali kamu nak!”
“kamu mengalami nasib seperti kami, nak! Kamu terjebak di tempat yang tak ada seorang pun mengetahuinya. Apa kamu ingin kembali?”. Aku mengangguk. Dipanggilnya sebuah kendaraan aneh berbentuk bulat tak bermesin itu ke hadapanku, aku terheran-heran. “Kalian menyuruhku menaiki kendaraan aneh ini?” tanyaku heran. “ya, kecuali kau akan tetap disini!” jawabnya ketus. Tanpa piker panjang kali lebar aku menaiki kendaraan itu.
“ Lan, Alan..!”
“ Ada apa? Apa yang terjadi? Dimana kEndaraan ajaibku?”
“Ah, kamu ngomong opo? Dari tadi kamu dicariin ibu, kemana aja kamu?” ternyata itu masku,
“ Aku baru saja berpetualangan dengan sepuluh liliput di negeri tak dikenal.” Jawbku.
“ Waduh, kamu makin ngawur ni ngomongnya.”
“ Bener mas, tadi aku kesana sama ibu, kakak ga ikut sih!” jawabku meyakinkan.
“ Ha?sama ibu? Kemana? Seharian ibu nyari kamu je. Apa itu alas an kamu buat gak ikut merumput?hayo…!” goda kakakku.
“ Ah, ya sudahlah! Mas paling-paling juga gak percya.”
“Percaya apa? Ah, sudah yuk kita pulang! ibu nunggu dirumah tuh.” Pinta kakakku tergesa-gesa.
Kulihat sebuah pohon gnetum gnemon yang berdiri kokoh itu. Ada apa dengan pohon itu? Aku semakin penasaran dengannya, rasanya aku pengen maen kesana lagi, biar aku bias menaiki kwendaraan aneh itu.
Tiba dirumah kulihat ibu khawatir denganku, beliau terus menerus mewnghujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. “ kemana saja to kamu itu le? Bikin orang bingung saja!”. “mbok ya bilang kalau mau pergi main!” begitu terus menerus beliau luncurkan hingga beliau merasa bosan dan melanjutkan memasaknya. Sementara aku masih mencoba menjawab teka-teki itu.
“ Biarkan hanya aku yang merasakan hal seperti itu.” Bisikku dalam hati. Ku jatuhkan tubuhku di atas kasur busa tipis itu. Terasa lelah sekali.

Kesabaran Seorang Istri Yang Shalehah 09.22

Kisah Perjalanan Cinta Yang MengHarukan... ^_^
Bagikan
Kam pukul 16:37
Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.

Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.

***

Cinta itu butuh kesabaran…

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..

Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..

Pernikahan kami sederhana namun meriah…..

Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.

Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.

Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.

Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….

Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.

Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

***

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.

Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…

Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.

Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…

Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.

Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada
kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”

Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.

Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.

Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”

Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”

Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”

“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.

Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.

Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.

Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.

Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.

Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..

Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.

Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.

Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.

Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.

Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.

Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..

Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..

Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.

***

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.

Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.

Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.

Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.

Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.

“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.

“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.

Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”

Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.

Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.

Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..

Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.

Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.

Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“

MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.

”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.

Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”

Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”

”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..

Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“

Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.

Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“

“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.

Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

“Apakah kamu sudah siap?”

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.

Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…

“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.

Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.

Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?

Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.

Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.“

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.

Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya…

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.

Aku pun dilarikan ke rumah sakit..

Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..

Aku merasakan tanganku basah..

Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”

Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”

“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.

Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..

Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

=====================================================

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?

Aku dihina oleh mereka ayah.

Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?

Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..

Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?

Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..

Aku diusir dari rumah sakit.

Aku tak boleh merawat suamiku.

Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.

Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.

Aku sangat marah..

Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..

Aku tak mau sakit hati lagi.

Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..

Engkau Maha Adil..

Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..

Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..

Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..

Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..

Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..

Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.

Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.

Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.

Aku harus sadar diri.

Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.

Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?

Ayah.. aku masih tak rela.

Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.

Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.

Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.

Sebelum ajal ini menjemputku.

Ayah.. aku kangen ayah..

=====================================================

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..

Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.

Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.

Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..

Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..

Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.

Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..

Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.

Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?

Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?

Tunggulah Ayah disana Bunda..

Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..


Sumber : dari email kiriman teman