Zulfa Blog's

Gallery
















Aku disini Kau di sana 13.04


Tanganmu dingin meremas jemari ini. Sedingin salju yang menutupi pohon plum yang berbunga di awal Januari. Sedingin hawa kematian yang berhembus leluasa di kamar jenazah. Sedingin, ah sedingin jiwa kita. Tanpa perlu kata-kata, kita berdua tahu untuk apa kita bersua. Disini, dipinggir pantai dengan hamparan pasir putih engkau menggenggam ruas-ruas jariku kuat, seolah menyatakan keenganan untuk berpisah. Tak ada aksara. Apalagi belai manja. Hanya debur ombak bermain dengan camar saja. Ironis, di depan elok semburat jingga mentari, kita diam dalam pikiran dan luka yang menyayat rasa.

“Ia mulai curiga. Sering ia mengecek ponselku diam-diam,” kataku memecah sepi. Kamu bergeming, hanya merapatkan pelukmu di pinggulku. Tak ayal kusenderkan kepalaku di pundak, mencari kehangatan. Ah bukan, tepatnya berusaha mencari perlindungan dari rasa gentar juga gelisah yang makin meraja.

“Mungkinkah ini waktu bagi kita tuk berpisah?” tanyamu tanpa berani menatapku. Dan aku diam tergugu, sebuah pertanyaan pahit dengan kadar kebenaran. Ada pedih didalam hatiku. Ada hati yang teriris-iris mendengar kata-katanya. Perih. Aku menutup telingaku, tak mau mendengarnya bicara lagi. Oh, duhai Lelaki.. Tolong... Tolonglah aku. Kumohon berhentilah bicara.

“Ku harap hidupmu bahagia dengan atau tanpaku,” bisikmu lirih ditelinga seraya menyibakkan ikal anak rambutku. Kata-katamu bagai pisau tajam yang merobek jantung. Ingin rasanya kutampar saja bibirmu namun kulihat dadamu turun naik. Susah payah berusaha menghirup oksigen banyak-banyak untuk mengisi rongga paru, tanda kau pun mulai tak mampu mengontrol rasa yang mengharu biru. Situasi yang sungguh aku benci; terluka oleh Lelakiku yang dengan topengnya berusaha kuat padahal sisi dalam hatinya mungkin sudah hancur berkeping-keping juga.

Lirih katamu tadi kusambut dengan titik air menggantung di sudut mata. Bagaimana mungkin aku tidak menangis? Siapakah yang mampu berpisah denganmu wahai Lelaki. Engkau yang menghias malam-malamku dengan lelucon jenaka, yang menyapaku di pagi hari dengan pesan-pesan puitis nan romantis, yang menemani hari-hariku dengan segala rengekan manja juga polah merajuk yang gila. Lelaki lain mungkin sudah menyerah menghadapiku, namun kamu tidak. Kamu terus ada, sabar juga setia. Setia jadi tempatku berkeluh kesah, setia meyakinkanku bahwa rasa itu nyata dan terus bertumbuh. Dan sekarang? Setelah kita berdua sedemikian yakin akan rasa ini, realita menampar rasa. Menghempaskan mimpi kembali ke bumi.

Semenjak hari itu, semenjak sore kelabu itu, kulalui setiap detik waktu dengan sengsara menahan rindu, teringat belai kasihmu. Dengan tatapan kosong memandang kotak ajaib di ruang tamu padahal pikiran ini melayang jauh pada memori kencan-kencan rahasia kita. Dengan isak yang tertahan diujung kamar (hati-hati jangan sampai suami mendengar) terbayang kecup mesra bibirmu melumat bibirku. Dengan kuah sayur yang berlebih takaran asinnya karena terngiang semua kata-kata gombalmu. Rayuan sampah yang sesungguhnya mampu menggetarkan sukmaku. Dan hari-hariku pun kelabu. Tak ada warna disitu, karena tak ada kamu. Aku ini bagai mayat hidup yang berusaha menjalani hari. Yang tersisa hanya raga padahal jiwa dan roh sudah melayang meminta bersamamu jika bisa.

Senja Merah

“Bagaimanakah aku bisa bahagia jika tak ada kau dalam hidupku?” suaraku tercekat menahan tangis di gagang telepon. Setelah sekian hari, mungkin tujuh, tak mampu lagi logika mengatur hati. Hati yang memerintah logika, jadi kutelepon dia. Namun senyap yang menyambut kata-kataku. Tak ada jawaban, hanya helaan nafas saja yang terdengar. Beberapa saat kemudian ada jawab dari seberang sana,“Temui aku ditempat biasa.”

Dan begitu melihatmu di ujung senja pantai kesayangan kita, aku menghambur dalam peluk kekar tanganmu. Tangisku pecah. Ah, sedemikian aku rindu pada Lelakiku, pada suara bariton khasmu yang selalu mampu menenangkanku, pada wangi jantan yang membuatku merasa aman. Dan kamu pun mengangkatku hingga sejajar dagu, lalu bibir ini bersatu. Berpagutan liar seolah lama tak bersua padahal hitungannya tak lepas seminggu saja. Meluapkan emosi tertahan yang menyiksa. Liar, panas, ganas. Senja elok itu ditutup dengan dengan gumulan tubuh yang berpeluh. Berdua nafas kita tersengal riuh.

Bukan kali pertama kita berusaha berpisah, karena kata orang cinta kita ini cinta terlarang. Entah siapa yang membuat aturan bahwa ini cinta terlarang, cinta halal atau haram. Aku benci aturan itu! Aturan konyol yang memaksa memadamkan cerita kasih ini. Namun entah mengapa, setiap kali mengambil keputusan untuk menyudahi roman cinta, setiap kali pula gagal. Paling lama tak bersua dari Ahad ketemu Ahad saja, namun rindu yang menggedor jiwa lebih keras dari keputusan untuk berpisah. Ah, sepertinya cinta sialan yang terlarang ini begitu kuat, mencengkeram erat bagai maut mengintai daging sekerat. Persetan dengan terlarang, ke laut saja itu norma. Kau adalah dosa terindah yang pernah kubuat dan jika ku harus dirajam karenanya... Biar, biarlah itu adanya. Kau. Aku. Kita. Teronggok mesra di ujung senja merah itu, bergemuruh, berusaha mencurangi takdir dan waktu. Entah sampai kapan mampu begitu......

0 komentar: