Zulfa Blog's

Gallery
















HARI YANG ANEH 09.24

Kabut pagi ini masih tebal, membawa dinginnya dibuta ini, embun diatas ilalang tak jua mengering, dan burung seriti itu beterbangan tak tentu arah.
Pagi yang cerah, angin berhembus lembut mendamaikan hati, terlintas di fikiranku sepotong wajah yang selalu mengusik hati, wajah yang selalu membuatku merasa kanngen berat. Wajah itu lembut, putih langsat, dan Nampak selalu senyum merendahkan hati. Dian! Itulah nama empunya wajah cantik itu.
Dian. namanya begitu sederhana, tapi gadis ini tak kalah indah, dia begitu sederhana, baik, dan tidak pernah sombong terhadap siapapun!
Disaat aku merasa sepi karena tak ada seorang pun yang mampu membuatku nyaman, membuatku merasa terlindungi, dan membuat hari-hariku terasa bermanfaat. Disaat hati bertanya-tanya pada Sang pencipta tentang kehidupanku yang sendiri. Kapan seorang bidadari dengan segala kelembutannya itu dating padaku? Sesungguhnya hal itu tak perlu ditanyakan lagi pada Sang khalik, karena aku yakin Dia sudah mengatur segala sesuatu yang berjalan di bumi ini. Aku sebagai mahluk ciptaan-Nya yang lemah hanya bias wait and see.
Disaat itu datanglah sosok yang ku impikan, seorang ghadis dengan sepasang sayap putih lebar tertempel di punggungnya, dengan tongkat yang ia bawa, ia kelihatan lebih indah. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya cahaya putih yang ada saat itu. Siapa dia? Benarkah Tuhan mendengar seruanku? Dan kini Dia mengirim bidadari-Nya untuk menemanmiku?
“Bangun! Cepet mandi! “
“Iya bu, sebentar! Masih ngantuk ni..!” jawabku malas. Ibu tak menyerah, diseretnya selimut yang aku gunakan untuk tidur sehiongga aku merasa kedinginan, dan ibu mengoyok-oyok tubuhku hingga aku bosan dengan gangguan tidur semacam ini. Seprti biasa, ibu lagi-lagi membuat tidurku tidak nyaman. Lalu dengan malas aku ke kamar manid dengan mata yang masih merem-melek!
Sejam kemudian aku, ibu, bapak, adik dan masku berkumpulk di meja makan. Acaranya sekarang adalah sarapan pagi.aku suka dengan acara seperti ini, karena kamiu jarangt banget kumpul keluarga seperti yang aku lakukan pagi ini. Bapak sibuk dengan sawahnya, ibu sibuk dengan sapinya, adik sibuk dengan temen-temen mainnya, dan kakakku masih sibuk dengan ujiannya. Hari ini hari minggu, kami semua makan dengan khidmad, berbincang-bincang dengan banyak hal.
“Bagaiman dengan ujianmu, le?” Tanya bapakku pada masku. “ Insya Allah udah siap kok pak!” jawab masku yakin. “yang penting kamu tetep belajar terus ya, le!” kini suara ibu terdengar lebih meyakinkan. “bapak ma ibu selalu mendo’akanmu kok, le! Asal kamu sekolahnya yang bener.” Tambahnya. “ enggih bu!” jawab kakakku sambil manganggukkan kepalanya.
“Kalau kamu gimana sekolahnya? Gak ada masalah kan , le?” giliran bapak menanyaiku. “ baik-baik juga kok pak, malah sekarang aku senang dengan pelajarannya.
“Lho, emang kemaren-kemaren gak suka ya?” Tanya adikku yang masih kecil. Dia baru kelas 4 SD di MI MAARIF, sekolahanya tidak jauh dari tempat kami bernaung, sekitar satu kilometer dari rumah, untuk sampai ke sekolah adikku jalan kaki bersama teman-teman yang lainnya.
“E…h bukannya gitu, dik!” jelasku
“Lha terus apa dong kak?” bapak, ibu sama kakak hanya tertawa kecil melihat kami berdua berdebat. Tak seharusnya kejadian ityu tewrjadi saat sarapan begini. Ah adikku…
“ Nanti setelah makan, bantu ibu cari rumput ya, le!” pinta ibu pada kami berdua, aku dan kakakku, adikku hanya akan mengotori halaman rumah bersama teman temannya.
“O…enggih bu!” jawabku sambil menganggukkan kepala. Lalu ibuku keluar dengan membawa senjata yang basa kami gunakan untuk merumput. Arit! Ityulah nama benda yang kami gunakan. Alatnya hamper sam dengan pisau belati, hanya kalu arit lebih besar dan menyerupai clurit! Bias dibilang sbitlah!
“ Ibu tak ngasah arit dulu ya, biar landhep” kata ibu sebelum beliau pergi.acara makan selesai dan acar ‘bekerja’ dimulai. Ayah mengambil seragam sawahnya yang dekil, dan sepatuinya yang besar tinggi itu beliau kenakan untuk melindungi kakinya. Dan ibu siap dengan sabitnya, bersamaan dengan siapnya kami berdua, aku dan kakakku pergi cari makan buat si-emoh.
“Jangan lupa bawa ‘mujah’nya. Nanti biar gak sakit!” pinta ibu kepadaku. “ siap bu!perlengkapan sudah siap!” jawabku dengan suara senang. “ bagus, le! Nanti bawanya sedikit-sedikit aja, jangan kayak dulu, kalo ‘kabotan’ lagi yang payah ibu!oke?” kata-kata ibu terus kami dengar, sebelem ibu pergi mengambil sabit ia tersenyum dan dengan wajah tuianya itu bibir ibu komat-kamit entah apa yang beliau ucapkan.
“Aku dan mas pergi duluan aja ya, bu! Ntar ibu nyusul kesana” pintaku kepada ibu yang masih siap-siap. “ ya udah sana duluan gak apa-apa, nanti ibu menyusul.” Jawabnya ringan dengan muka jernih meski termakan usia.
Aku dan masku mulai berjalan menuju tempat yang banyak rumputnya. Dan kami senang dengan pekerjaan ini. Mmbutuhkan waktu dua jam untuk menyelesaikan tugas ini. Dan butuh waktu tiga puluh menit untuk kembali pulang. Jadi rata-rata kami merumput selam dua setengah jam. Siang ini panas sekali, musim hujan mungkin dimulai minggu depan, aku merasa lapar dan haus, aku duduk dibawah pohon gnetum gnemon yang ada di ujung ‘galengan’ ini. Kurasakan udara berubah menjadi sejuk, panas matahari sudah tak terasa menghujami diriku yang kecil, rasa laparpun seperti agak berkurang setelah aku menduduki bawah pohon gnetum gnemon ini.
Ku lihat ibuku berjalan mendekatiku, dengan senyumnya yang khas ibu mengulurkan tangannya yang lembut, lalu membawaku melayang menjauhi bumi, ke tempat yang belum pernah aku jamahi, tak ada batasan, terang, dan sulit untuk keluar kembali ke bumi. Tak ada tanda apapun disana, hanya terlihat sekelomp[ok makhluk kecil dengan topi seragam, kira-kira mereka berjumalah sepuluh. Badannya pendek, kakinya tegap, dan sesuatu yang membuatku geli yaitu sepatunya yang besar dan sama sekali tidak cocok dengan ukuran badannya. Aku rasa mereka juga merasakan hal yang kurasakan mengenai sepatu besar itu. Mereka pasti merasa keberatan memakai sepatu yang diberikan ibu mereka, tapi wajah yang mereka tunjukkan berbeda, mereka malah memamerkan kekompakkan mereka dengan gaya berjalannya yang terkesan seperti tentara jadul alias jaman dulu.
“Ada yang aneh dengan kami?” salah satu dari mereka bertanya dengan gaya bicara aneh. Aku menggeleng, “lalu kenapa kamu memandang kami dengasn tatapan seperti itu?”. Aku pun hanya bias menggeleng, wajahnya yang berubah menjadi marah itu membuatku kehilangan percaya diri. Seolah ia tak mengijinkankan aku untuk menjawab pertyanyaannya.
“Sudah berapa lam kamu disini?” mereka sekali lagi bertanya, dan sekali lagi pula aku menggeleng, mereka semakin penasaran dengan sikapku pada mereka, lalu salah satu dari mereka bertanya dengan sopannya. “ dengan siapakah anda kemari?”. “dengan ibu!” kuberanikan untuk menjawab. “dimana sekaang ibumu, nak?” tanyanya lagi. “ aku tak tahu kemana ibu pergi. Seingatku aku diajak ke tempat aneh seperti ini dan ibu menghilang begitu saja.” Kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Tapi aku semakin bingung.
“Anda tahu apa nama tempat ini?.” Kutanyakan hal itu karena aku benar-benar bingung diman tempat yang sebenarnya sedang ku injak ini? Masihkah di bumi? Atau di luar angkasa? Aku tak ambil pusing, aku hanya menunggu jawaban dari mereka yang kukira juga lebih mengerti tentang tempat aneh ini.
“Benarkah kamu tidak tahu dimana kita sekarang ini?” mereka balik nanya kepadaku, lalu aku menggeleng dan si tua pendek itu mendekat, “ Kasihan sekali kamu nak!”
“kamu mengalami nasib seperti kami, nak! Kamu terjebak di tempat yang tak ada seorang pun mengetahuinya. Apa kamu ingin kembali?”. Aku mengangguk. Dipanggilnya sebuah kendaraan aneh berbentuk bulat tak bermesin itu ke hadapanku, aku terheran-heran. “Kalian menyuruhku menaiki kendaraan aneh ini?” tanyaku heran. “ya, kecuali kau akan tetap disini!” jawabnya ketus. Tanpa piker panjang kali lebar aku menaiki kendaraan itu.
“ Lan, Alan..!”
“ Ada apa? Apa yang terjadi? Dimana kEndaraan ajaibku?”
“Ah, kamu ngomong opo? Dari tadi kamu dicariin ibu, kemana aja kamu?” ternyata itu masku,
“ Aku baru saja berpetualangan dengan sepuluh liliput di negeri tak dikenal.” Jawbku.
“ Waduh, kamu makin ngawur ni ngomongnya.”
“ Bener mas, tadi aku kesana sama ibu, kakak ga ikut sih!” jawabku meyakinkan.
“ Ha?sama ibu? Kemana? Seharian ibu nyari kamu je. Apa itu alas an kamu buat gak ikut merumput?hayo…!” goda kakakku.
“ Ah, ya sudahlah! Mas paling-paling juga gak percya.”
“Percaya apa? Ah, sudah yuk kita pulang! ibu nunggu dirumah tuh.” Pinta kakakku tergesa-gesa.
Kulihat sebuah pohon gnetum gnemon yang berdiri kokoh itu. Ada apa dengan pohon itu? Aku semakin penasaran dengannya, rasanya aku pengen maen kesana lagi, biar aku bias menaiki kwendaraan aneh itu.
Tiba dirumah kulihat ibu khawatir denganku, beliau terus menerus mewnghujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. “ kemana saja to kamu itu le? Bikin orang bingung saja!”. “mbok ya bilang kalau mau pergi main!” begitu terus menerus beliau luncurkan hingga beliau merasa bosan dan melanjutkan memasaknya. Sementara aku masih mencoba menjawab teka-teki itu.
“ Biarkan hanya aku yang merasakan hal seperti itu.” Bisikku dalam hati. Ku jatuhkan tubuhku di atas kasur busa tipis itu. Terasa lelah sekali.

0 komentar: