Zulfa Blog's

Gallery
















Kado Ulang Tahun 07.59

Dengan kondisi obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, yang merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak mungkin kita bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi Keadilan. Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelenggarakan, adalah Supremasi Keselasaran.

Tema ini memerlukan uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang, sehingga malam ini sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli kebudayaan, sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan mohon disiapkan kerjasama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah kepakaran yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika, bahkan genekologi, sejarah ummat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta.

Semua wilayah itu saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di puncak ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan saya deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang menyangkut dirinya sendiri. Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan apapun, pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera dilakukan.

Bangsa Indonesia tidak punya kosakata untuk ‘hukum’ dan ‘adil’. Keduanya kita import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata ‘hukum’ dan ‘adil’ itu segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hokum dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.

Yang kita punya adalah kata ‘laras’. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan. Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi bareng-bareng di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita sama-sama menjaga keselasaran. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara Keselarasan Nasional. Siapa harus dihukum dan siapa harus dipertahankan, pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur dibangun dan diformasikan, bukan obyektivitas hukum atau keadilan.

Bangsa kita menomersatukan ‘norma’, menomerduakan ‘nilai’. Nilai mengikat setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang, hukum dan moral, asalkan tetap selaras dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita jaga adalah “apa kata tetangga”.

Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia — “Jangan seenaknya berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!”. Prinsipnya bukan maling itu tidak boleh, melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tak ada, tapi jangan kelihatan mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu, yang tidak boleh adalah melanggar keselarasan.

Perbenturan antara KPK dengan Polri dan Pemerintah secara keseluruhan adalah perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan. Mereka juga belum paham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak boleh merusak pekerjaan para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan, maka ia akan diberi label anarkisme atau makar.

Indonesia Mengejutkan Dunia

Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang kiai yang bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?

Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 Nopember 15 tahun silam. Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir. Tetapi semua itu pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas proffesional atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini. Saya merasa bahwa yang menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan malam ini adalah ’sekedar’ nilai persaudaraan dan kemanusiaan.

Alhasil, sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini, sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi, meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya. Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya diterima, beliau langsung menyeret saya, didudukkan di kursi, kemudian beliau omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu. “Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya”, kata beliau.

Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon sekedarnya: “Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?”

Beliau menjawab, “Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama optimisme atau pesimisme….”

“Aduh saya kurang paham, Kiai”, saya menyela.

“Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu bukan dosa. Yang penting kau sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulangtahunnya hari ini adalah ulang tahun yang sangat indah. Gatra berulangtahun tatkala kita semua sedang berada pada momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan segera datangnya saat di mana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia”.

“Wah, optimis ya Kiai?”, saya menyela lagi.

“Kamu cengeng”, jawab Pak Kiai, “Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli”.

“Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang bangkitnya Indonesia….”

“Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah”, Kiai Alhamdulillah melanjutkan, “Perhatikan dahsyatnya kepemimpinan Negaramu sekarang ini, amati mozaik penuh cahaya kebudayaannya, kejujuran dan kelihaian manusia dan bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin pendidikan informasi Persnya, progressivitas persekolahan dan kependidikannya, cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang terutama tak terbendungnya fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui garda-garda post-modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan sejarah dari Nusantara itu akan tak bisa dielakkan oleh semua masyarakat dunia bahwa Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia….”

“Maaf ya Pak Kiai, tadi kata Sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan, karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?”

“Jangan kawatir, Nak”, jawab beliau, “Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari, Qiyamat itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin oleh Indonesia”.

“Jadi benar akan kiamat ya Kiai? Apakah itu yang dimaksud dengan tahun 2012?”

“Jangan mendahului Tuhan, nanti malah dibatalkan”.

“Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?”

Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi

Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:

“Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral kepada Gatra”, kata beliau, “Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum, keadilan atau keselasaran. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan, segala sesuatu bisa diubah dan diatur”.

“Sebentar lagi bayi Indonesia baru akan segera lahir. Ibu Pertiwi yang akan melahirkan bayi itu sekarang sudah mengalami “bukaan-2“. Kalau bukaan sudah sampai ke-10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total-refreshing dari anak bungsu Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang sama sekali baru”.

“Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu Air Ketuban pecah pada 28 Oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 — karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yg sekarang menguasai keuangan dunia adalah keturunan Kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa puluh atau ratus generasi sebelum itu”.

“Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya Kan’an, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan jejak di Somalia, Jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan Ajisaka, Keling, Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara, Salakanagara atau Giling Wesi Jakarta. Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram”.

“Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam melakukan penelitian san eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia, terutama daratan panjang luas dari yang sekarang dikenal sebagai jazirah Saudi hingga Iran Jaya, yang memaparkan berbagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk ilmiah yang sejauh ini ada”.

“Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke Peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir. Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara low-tech replikasi jasad, high-tech replikasi system-logic otak, automation assembly line, prinsip digital, 0 dan 1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan Fuzzy Logic, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggih-canggihnya namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah, penasaran, sedih atau gembira – semua itu coba ditemukan konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan struktur misbah dan zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, hingga ke regulasi Negara mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah“.

“Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21 yang ditemani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam, ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan Qul huwallohu Ahad, 99 asma Allah, ditambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar, interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali dasar-dasar Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan Ideologi Pangan dan Kesejahteraan”.

Negeri Demokrasi Sufi

Tidak sengaja spontan saya merespon: “Itu makar, Kiai!”

Pak Kiai tertawa. “Alhamdulillah tidak perlu ada makar. Di negerimu rakyat tidak merasa terancam, sepanjang mereka masih punya sandang pangan, yang mereka bisa mengusahakannya sendiri, dengan atau tanpa Pemerintah. Pemerintah tidak perlu melakukan apapun, sebenarnya rakyat tidak masalah. Bahkan banyak rakyat yang mempersilahkan uang pajak nasional itu dibagi-bagi saja oleh para Pejabat, asalkan jangan mempremani atau memalak rakyat yang sedang bekerja mencari nafkah. Jadi, sekali lagi, tidak ada makar. Memang ada kehancuran nilai, moral, mental, intelektual dan spiritual, tidak itu tidak dianggap kehancuran. Kehancuran yang dikenal oleh bangsamu hanyalah kehancuran fisik”.

“Maka alhamdulillah bayi itu akan lahir. Kita semua berdoa, jika ada yang berusaha membuntu lubang rahim Ibu Pertiwi, karena berharap sang Bayi akan batal lahir, semoga jangan lantas ada keputusan Operasi Cesar oleh petugas-petugas Jagad Raya, para Eksekutor Alam Semesta, oleh Kepala-Kepala Dinas Samudera dan Tsunami, Hujan, Banjir dan Longsor, Gunung, Lempengan Bumi di perut bumi Nusantara dan Gempa, Pemanasan Global, Gas Metan di Kutub Utara, ararkisme meteor-meteor, serta ruh-ruh Energi dan Frekwensi yang serabutan maqamat-nya, serta sejumlah birokrat langit bumi lainnya”.

“Akan tetapi bencana-bencana itu bisa tak perlu terjadi, karena semua yang terjadi ini tetap dalam lingkup Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai rohaniah. Bencana-bencana itu bisa batal, meskipun korupsi makin merajalela. Karena dalam Pancasila terbuka peluang sangat luas untuk menafsirkan nilai-nilai. Misalnya, sesungguhnya itu semua bukan korupsi, bukan sistem yang korup, bukan pencurian yang merata – melainkan Shadaqah. Shadaqah adalah beralihnya uang, dana atau jasa secara sukarela dari satu tangan ke tangan lain. Ciptakan suatu atmosfir kenegaraan dengan wacana-wacana yang membuat semua peralihan keuangan itu bersifat sukarela dan bermakna shodaqah. Sosialisasikan nilai bahwa ridla bir-ridla atau saling sukarela adalah pencapaian silaturahmi yang ideal. Kalau ada yang belum ridha dan merasa itu adalah pemerasan, harus dididik sampai bisa mencapai ridha. Kewajiban mendidik warganegara menuju tingkat ridha itulah tugas Pemimpin, Pemerintah, Para Wakil Rakyat, Kaum Ulama segala Agama, Pers dan semua pelaku-pelaku utama yang lain dalam sejarah. Pasanglah spanduk di jalan-jalan yang mendidik publik: ‘Relakanlah ke manapun uang Negara pergi, toh yang memakai adalah sesama manusia, sesama makhluk Allah’.

“Pancasila bisa menggali nilai-nilai Agama, misalnya Sufisme. Kalau perlu dilegalisir saja pedoman nasional bahwa Negeri kita adalah Negeri Demokrasi Sufi yang berlandaskan pancasila. Di dalam Negeri Demokrasi Sufi, Presidennya harus Sufi, seluruh Menteri dan Pejabat-pejabatnya harus Sufi. Demikian juga Tentaranya, Polisinya, termasuk para Pengusahanya, olahraganya, keseniannya, harus Sufi. Presiden Sufi adalah Presiden yang sesungguhnya tidak bersedia menjadi Presiden lagi, tetapi demi Indonesia bersatu maka ‘Lanjutkan!’.

“Kabinet Sufi adalah Menteri-Menteri yang rela lilo legowo tidak ditempatkan atau ditempatkan di penugasan Kementerian manapun, meskipun seandainya mereka tidak memiliki kompetensi proffesional. Kalau mereka menolak, akan bisa terjadi pertengkaran antar kelompok politik. Presiden dan Menteri-Menteri Sufi harus menomersatukan kedamaian, dan menghindarkan segala kemungkinan konflik.”

“Sufisme itu intinya adalah kesanggupan berpuasa. Berpuasa makna luasnya adalah sanggup melakukan sesuatu yang ia tidak suka, atau mampu tidak melakukan yang ia suka. Umpamanya saya tidak suka memeras orang, tetapi demi mengasah kemampuan rohaniah, maka saya memeras”.

“Menutupi aib sesama manusia, adalah termasuk nilai Sufi yang tinggi. Apalagi yang punya aib itu orang di jajaran tugas kita sendiri. Tuhan melarang hamba-Nya memperhinakan sesamanya. Bahkan dalam berolahraga, sebisa mungkin kita menjaga hati sesama manusia. Kalau kita menang dalam pertandingan sepakbola atau bulutangkis, harus kita perhitungkan bahwa lawan main kita pasti kesakitan hatinya kalau kita kalahkan. Maka yang terbaik adalah kita mengalah. Kalau ada striker lawan menggiring bola capek-capek ke gawang kita, Kiper kita harus minggir dan mempersilahkan bola dimasukkan. Dengan demikian olahraga kita memiliki kwalitas nilai kemanusiaan yang sangat tinggi”.

“Atau ambil contoh lain misalnya Pengusaha, khusus di Indonesia, para Pengusaha memiliki peluang sangat besar untuk berjuang mencapai tingkat Sufi yang tertinggi. Para Pengusaha di Indonesia setiap saat harus siap bersedekah, setiap langkahnya harus bersedekah kepada Negara yang diberikan melalui para Pengurus Negara. Pengusaha yang tidak bersedekah, alhamdulillah pasti menjadi Sufi bangkrut.”

“Sebab sedekah itu kemuliaan, bukan keanehan. Kamu tahu artinya sedekah? Infaq yang tidak wajib itu namanya shadaqah, kalau wajib itu namanya zakat. Pengusaha Indonesia tidak wajib bershadaqah, tapi mereka perlu meningkatkan kwalitas rohaniahnya, sehingga yang sebenarnya tidak wajib bisa ditingkatkan menjadi wajib. Ada yang bertanya: apakah itu bukan pemerasan? Itu pemerasan hanya bagi Pengusaha yang tidak berhati ikhlas. Jadi ini bukan soal hukum, melainkan soal keikhlasan hati. Kemudian ada lagi yang bertanya: apakah itu bukan sogokan? Alhamdulillah sama sekali bukan sogokan, sebab Pejabat yang menerima sedekah itu niatnya bukan mencari uang, melainkan menguji iman si Pengusaha”.

Kaliber Dunia

“Saya akhiri kado ini”, kata Kiai Alhamdulillah akhirnya, “karena saya ingin Gatra tetap langgeng penerbitannya”.

“Sampaikan respek saya kepada Gatra. Pers Indonesia, dan pasti juga Gatra, adalah salah satu sumber energi sosial dan pendidikan sejarah yang turut memberi sumbangan besar kepada Kebangkitan Indonesia 2012. Koran-koran dan Majalah melakukan pencerdasan bangsa 3-5 kali lipat dibanding era-era sebelumnya. Televisi-televisi bekerja keras 24 jam sehari untuk membuat bangsanya menjadi sangat dewasa, matang dan berwawasan luas”.

“Pers bisa ambil peranan besar dan hampir mutlak dalam hal Yaumul Qiyamat ini. Apalagi Pers Indonesia adalah pers terbebas di seluruh dunia. Paling merdeka dan independen. Pers Indonesia tidak punya atasan, semua yang lain adalah bawahannya: baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan disinformasi, tuhan dan hantu, semuanya patuh kepada kebijakan dan strategi redaksionalnya. Pers Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk menghukum dirinya sendiri”.

“Jangan lupa, mantapkan hati Gatra, bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi paling fenomenal dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya Gatra berbangga memiliki Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh dunia. Gatra adalah bagian dari bangsa tertangguh dan paling proffesional me-maintain kehidupannya masing-masing dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia. Manusia Gatra adalah manusia Indonesia, manusia paling tahan uji, paling banyak tersenyum dan tertawa, bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia. Gatra adalah pelaku kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling ragam dan tak terbatas kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan kepribadian. Para pekerja Gatra adalah juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan beragama di Indonesia,yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu sedemikian rupa membuat para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak lagi memerlukan pemikiran, penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun”.

“Dan akhirnya, jangan pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia memiliki pemimpin seorang Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber dunia. Gatra jangan ikuti orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit pandangannya, yang selalu mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang peragu, lamban, tidak punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak obyektif, atau macam-macam lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan hanya bersifat impressional. Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut perasaannya dan tidak hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya menyaksikan satu saja warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan membela mati-matian siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang sudah membuktikan kerja keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah Panglima Keselarasan”.

0 komentar: