Zulfa Blog's

Gallery
















Peran Orangtua Membimbing Anak Menghadapi Dunia Pengajaran 10.55

Oleh J Drost

KATA pendidikan selalu dipakai dalam dua arti: pendidikan (education, opvoeding) dan pengajaran (teaching, onderwijs).

Kita melihat, di TK masih pendidikan melulu, bahkan pengajaran dilarang. Di SD sudah ada pengajaran, seperti berhitung, menulis, membaca, sampai di kelas lima dan kelas enam sudah lebih banyak pengajaran daripada pendidikan. Di sekolah menengah (SLTP, SMU, dan SMK) hampir seluruhnya lebih ditekankan pada pengajaran. Pendidikan untuk menciptakan suasana belajar.

Oleh karena akhir-akhir ini, di mana-mana di dunia, kurikulum dan silabus di sekolah menengah begitu berat hingga tidak ada waktu untuk pendidikan, maka dikembangkan sebuah pedagogi baru yang menekankan pengajar harus mendidik para pelajar lewat mengajar (Lihat J Drost, SJ, Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan, Grasindo 1999).

Peran orangtua dalam membimbing adalah sebagai pendidik utama, termasuk membimbing anak menghadapi dunia persekolahan. Karena proses pembelajaran berlangsung lewat lembaga sekolah, bimbingan nyata dari orangtua ialah menyiapkan anak-anak untuk akhirnya masuk ke perguruan tinggi. Dan, saya kira, hanya untuk beberapa anak masuk dunia kerja. Namun, kepada mereka semua dituntut kedewasaan dan kemandirian yang sama.

Anak dibimbing, apa tujuannya?

Tujuan pendidikan (sama dengan bimbingan) dan pengajaran ialah membantu anak menjadi dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Anak mencapai kematangan, baik intelektual maupun emosional, untuk dapat menempuh belajar tersier (akademi atau profesional). Teras dari kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Ia mampu secara bebas menyampaikan pendapatnya dengan kritis. Ia mampu menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa arus perasaan. Ia menjadi orang yang berkomitmen, berani melibatkan diri. Ia mempunyai rasa keterbilangan (sense of belonging). Ia menjadi manusia bebas; bebas memilih belajar, bebas memilih karier, bebas memilih cara hidup, bebas memilih teman hidup, bebas lepas dari bimbingan orangtua.

Itulah tujuan usaha orangtua. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang paling berat bagi seorang ibu di mana pun di dunia ini.

Kembali kepada yang dibimbing. Anak adalah manusia muda yang akan didewasakan, bukan dewasa kecil yang akan dibesarkan. Let boys be boys and girls be girls, they are not small adult. Anak itu akan dibimbing orangtua menjadi pribadi dewasa dan mandiri, khususnya pada bidang menghadapi sekolah.

Seorang pembimbing harus mulai dengan mengenal siapa yang akan dibimbing, lalu menerimanya sebagaimana adanya. Itu berarti, secara nyata orangtua harus menerima anak mereka. Anak yang tidak diterima orangtua tidak dapat dibimbing menjadi seorang dewasa yang berbahagia. Anak perlu diterima apa adanya; entah pandai, entah biasa, entah lemah, terbuka atau tertutup, lasak atau pendiam, alim atau nakal. Anak itu lahir sebagai anak itu. Anak itu harus diterima, lalu dibentuk menjadi manusia dewasa. Kenyataan dan tuntutan itu akan menentukan cara dan bentuk bimbingan bagi anak untuk menghadapi pengajaran dan pendidikan di sekolah.

Demi lengkapnya bahasan saya, akan saya sebut beberapa kesalahan yang cukup sering dibuat orangtua:

* Menuntut TK mengajarkan berhitung dan membaca, dan menuntut SD mengajarkan bahasa Inggris.

* Menyuruh anak SD yang peringkatnya biasa-biasa saja mengikuti bimbingan belajar dan mencarikan guru les untuk meningkatkan peringkatnya.

* Memaksa anak TK dan SD masuk les musik dan tari, padahal anak tidak berbakat.

* Mencarikan anak SLTP guru-guru les supaya peringkatnya tinggi.

* Memaksa anak SLTP masuk SLTA yang terlalu berat.

Itu semua bentuk tidak menerima anak apa adanya. Anak bukan anak itu lagi, tetapi rekaan orangtua. Tidak lagi demi kebahagiaan anak, tetapi demi kepuasan orangtua. Itu bukan bimbingan, melainkan penggiringan.

Jadi, secara positif orangtua yang ingin membimbing anak menghadapi dunia persekolahan harus menerima apabila, misalnya, di SD anak tidak bisa menjadi juara sekolah. Anak dibantu, kalau bisa oleh ibunya sendiri, supaya anak tetap merasa kerasan di sekolah. Bukannya anak dituntut yang tidak-tidak, tetapi anak diberi semangat. Anak yang pandai tidak perlu lebih dipuji dan lebih dihargai daripada adiknya atau kakaknya yang tidak begitu pandai. Pada waktu masuk sekolah menengah, mohon pendapat kepada kepala sekolah mengenai potensi belajar anak. Anak dicarikan SLTP, dan lebih-lebih SLTA, yang sesuai dengan potensi belajar anak.

Itu semua tidak berarti bahwa bimbingan anak serba boleh. Sama sekali tidak. Bimbingan harus tegas. Yang dapat dan perlu dituntut harus dituntut. Anak pandai yang malas belajar jangan dibiarkan malas. Perlu tegas. Namun, kalau tetap malas, orangtua perlu menghubungi seorang ahli bimbingan dan konseling atau seorang psikolog untuk mengetahui ada masalah apa pada anak itu.

Bimbingan juga didasarkan atas kepercayaan pada anak, bukan atas kecurigaan. Bimbingan orangtua harus disesuaikan keadaan dan kemampuan nyata si anak. Yang pasti juga, apabila anak bersalah, anak tidak langsung dimarahi atau dihukum begitu saja.

Pola pendidikan yang tidak memberi kesempatan kepada anak untuk membuat kesalahan adalah pola pendidikan yang salah. Apabila karena setiap kesalahan anak langsung ditindak, itu berarti anak dididik menjadi penakut yang tidak pernah berani berinisiatif. Tunggu komando. Orang semacam itu tidak perlu bertanggung jawab karena hanya pembeo. Apabila anak salah, anak harus diberi tahu apa yang salah dan dibantu untuk memperbaiki kesalahannya. Dengan demikian, ia belajar dari kesalahan-kesalahannya. Namun, apabila setelah dibimbing ia tetap nekat membuat kesalahan, anak itu perlu ditindak.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa orangtua perlu menghargai pribadi seorang anak. Anak berhak memohon didekati penuh hormat. Anak pun memiliki hak-hak asasi dalam keluarga, di sekolah, dan di masyarakat. Kendati masih amat bergantung pada orang lain, masih lemah, ia harus tetap diperlakukan sebagai seorang pribadi.

Apabila orangtua lupa akan hal itu, akan timbul banyak konflik karena patokan, kriteria, dan tolok ukur yang dipakai tidak cocok bagi si anak. Sering dilupakan, daripada memberi perintah, lebih baik orangtua mengajukan permintaan. Setelah anak menyelesaikan apa yang diminta, kepadanya orangtua mengucapkan terima kasih.

Sekarang ingin saya membicarakan unsur bimbingan yang lebih sukar dirumuskan. Seorang pelajar baru bisa berhasil di sekolah apabila ia kerasan di sekolah. Ia mengetahui bahwa nilai-nilai pada rapor hasil pekerjaannya dan tidak dikurangi karena nakal. Semua ulangan dikembalikan. Boleh protes. Tidak ada anak emas dan anak tiri. Guru-guru sungguh baik dan pandai sebagai guru. Sekolah baginya tempat yang aman. Kerasanlah dia. Kalau ini berlaku untuk sebuah sekolah, apalagi untuk rumah. Hanya anak yang benar-benar mengalami rumah, keluarga sebagai home, akan menerima bimbingan guna menghadapi dunia persekolahan. Dan ini berlaku pula untuk anak orang tua yang sudah mahasiswa. Sebab, apa ada mahasiswa dari Jakarta yang ada pondok di Depok hampir setiap malam pulang? Home, itu bukan sejumlah fasilitas yang mewah. Mereka kerasan karena merasa aman, merasa dilindungi, dan yang penting merasa dihargai, mengetahui bahwa pandangan dan pendapatnya didengar dan bisa diterima. Yang paling penting, orangtua merupakan pegangan hidup.

Wibawa ayah. Karena penuh respek terhadap istrinya yang ibunya anak-anaknya. Kebijaksanaan mencari penyelesaian apabila timbul beda pendapat mengenai sikap terhadap anak. Andalan dan tumpuan keluarga karena sikap tegas baik di rumah maupun dalam pekerjaannya. Terbuka terhadap anak yang sudah mulai besar mengenai masalah-masalah intern keluarga maupun dalam tugas dan usaha-usaha sehari-hari. Juga mengenai masalah keuangan. Wibawa ibu. Penuh hormat terhadap suaminya. Pencipta suasana. Penuh cinta, tetapi tetap tegas. Terbuka terhadap semua masalah anak, tetapi tidak permisif, semua serba boleh. Penuh perhatian, namun, yang perlu dituntut, memang dituntut. Tabah waktu penderitaan dan musibah melanda keluarga. Penanam sikap memperhatikan dan memedulikan orang lain.

Pendek kata, keluarga yang menghargai pribadi masing-masing. Kendati anak masih bergantung pada orangtua, ia harus diperlakukan sebagai pribadi. Pengalaman saya, makin memiliki home, sarang hangat, makin ia akan berhasil menyelesaikan semua tuntutan dari dunia persekolahan yang sesuai dengan kemampuan intelektual, bakat, dan minatnya.

J Drost Ahli Pendidikan, Tinggal di Semarang

0 komentar: